Udah Ikut Course Sana Sini, Kok Nggak Bisa Bisa Coding? Yuk Kenalan dengan Carrot Problem ~DeveloperStory #1

Ahmad Arif Faizin
3 min readMay 10, 2024

Bismillah…

Baru aja kemarin dengerin podcast yang bagus dari mas

tentang “Kenapa Materi Workshop Tidak Berhasil Saat Diterapkan? Berkenalan dengan Carrot Problem”. Kalau mau nangkep langsung, dengerin aja di sini

Konteksnya memang di dunia bisnis, dulu juga saya ngerasainnya, jadi ahlul workshop yang selalu ikut kalau ada seminar atau kelas online apa aja, tapi hasilnya tidak semulus yang diharapkan. Nah, tapi sebenarnya ini juga mirip kalau kita belajar coding. Mungkin ada juga yang pernah belajar kesana kemari, ikut course sana-sini, tapi masih nggak bisa-bisa. Kira-kira apa penyebabnya?

Nah, ini yang akan jadi topik bahasan utama kita kali ini. Bukan course-nya yang salah, bukan course-nya yang menyesatkan, tapi bisa jadi ada aspek lain yang tidak pas, yakni terkait Carrot Problem. Nah, apa itu? Yuk kita bahas. Checkitout~

Jadi, ini berawal dari sebuah kisah nyata di Perang Dunia II. Ceritanya, Inggris menemukan jenis radar baru yang memungkinkan pilotnya menembak jatuh pesawat Jerman di malam hari.

Mereka tidak ingin Jerman mengetahui tentang teknologi ini, jadi mereka menciptakan propaganda yang menyatakan bahwa pilot mereka bisa melihat pesawat Jerman akibat “banyak makan wortel”.

Dari sisi logis, ini memang memang benar, tentara Inggris memang banyak makan wortel, tapi sebenarnya ada hal lain yang membuat mereka bisa.

Inilah yang disebut Carrot Problem: orang mempercayai suatu hal untuk bisa sukses, tapi sayangnya ada informasi yang tidak lengkap, alias tidak dibilang. Bukan hanya karena sengaja (misal karena rahasia perusahaan) tapi bisa juga karena yang membuat workshop pun memang tak sadar kalau ada faktor lain yang ternyata penting untuk dibagikan. Atau, memang scope yang dibahas hanya bagian satu sub itu saja.

Dalam kasus course coding misalnya, memang di sana dijelaskan berbagai macam technical skill untuk bisa coding. Tapi apakah kita bisa menjamin setiap orang yang mengikuti setiap modul bisa langsung jago coding. Tentu tidak, ada banyak faktor lain yang menentukan.

Contohnya, bisa jadi dia hanya ikut ikut aja tapi tidak praktik, hanya baca baca doang, bahkan skip-skip, asal lulus, dapat sertifikat, lanjut ganti kelas lain. Alias memang tidak benar-benar mendalaminya. Jadi, dari sisi materi yang disampaikan sudah benar, tapi ternyata cara belajarnya-lah yang salah.

Tentunya ini berbeda dengan mereka yang praktik, mengulang-ulang, dan mencoba implementasi pada case project yang berbeda. Untuk itulah di Dicoding, ada yang namanya submission sebagai assesment untuk memvalidasi apakah siswa benar-benar bisa atau tidak. Siswa ditantang untuk mengaplikasikan ilmu dengan membuat project sesuai dengan case yang diberikan. Tak hanya itu, project yang dikirimkan juga dinilai dan direview oleh expert di industri. Inilah yang tidak ditemukan di course lain di Indonesia.

Oke, itu dari sisi technical skill saja, ada juga faktor lain yang menentukan, yakni dari softskill, bisa jadi dari sisi menjaga semangatnya dia belajar, time management, growth mindset, dan critical thinking. Memang mungkin kebanyakan course hanya mengambil satu scope saja supaya bisa fokus, tapi kita sebagai pembelajar perlu paham bahwa ada banyak faktor yang menentukan. Jadi, belajarlah hanya tidak dari satu sisi.

Untuk itu, ketika ikut seminar/workshop, jangan hanya mendengarkan materi teknis yang dibawakan di atas panggung, tapi cobalah ngobrol dengan pembicara di belakang panggung. Inilah yangs sering saya lakukan. Karena seringkali info/tips/trik yang lebih berguna (yang tidak tersampaikan di atas panggung) akan keluar di sana. Oleh karena itu, aktiflah dalam percakapan di luar panggung supaya tidak terjebak dalam carrot problem.

Oke, semoga dengan adanya ini menambah pemahaman kita untuk bisa lebih bertumbuh lagi. Sekian. Semoga bermanfaat!

--

--